Jumat, 09 Februari 2007
|
Soenarto Soedarno, MA
Mantan Asisten Menteri Sekretaris Negara Urusan Khusus dan Mantan
Duta Besar RI untuk Republik Cekoslovakia
Pendahuluan
Sejarah perkembangan
bangsa-bangsa menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara kehidupan
ekonomi dan format politik. Hal ini mudah dimengerti karena kehidupan
ekonomi, bersangkut paut dengan masalah produksi, distribusi, konsumsi dan
pertukaran barang dan jasa sedang format politik bertautan dengan kultur,
struktur dan prosedur hidup bersamaan antara manusia
yang memerlukan barang
dan jasa tersebut. Perkembangan sejarah tersebut juga berlaku dalam kehidupan
ekonomi dan politik di Indonesia. Pada saat masyarakat Indonesia masih belum
menjadi satu bangsa, dampak dinamika kehidupan ekonomi dan politik
ditanggulangi langsung oleh suku-suku bangsa yang ada, yang biasanya telah
mempunyai kerajaan-kerajaan lokalnya sendiri.
Setelah suku-suku bangsa Indonesia tersebut secara perlahan-lahan
mengembangkan kesadaran kebangsaan dan melancarkan gerakan menuju
kemerdekaan, dampak dinamika kehidupan ekonomi dan politik nasional tersebut
mulai dirasakan sebagai masalah bersama, yaitu masalah bangsa dan Negara
Indonesia yang akan dibentuk, yang baru berhasil diwujudkan dalam tahun 1945.
Kekuatan luar yang paling intensif dan paling lama bersinggungan dengan
suku-suku bangsa Indonesia secara khusus dengan bangsa Indonesia secara umum
adalah kerajaan Belanda, yang menganut faham liberalisme dalam politik dan
kapitalisme dalam ekonomi. Tidaklah mengherankan bahwa dalam perjuangan
melawan tekanan kerajaan Belanda, bangsa Indonesia berpaling kepada antitesa
dari liberalisme dan kapitalisme tersebut, yang juga terdapat dalam khazanah
pemikiran Barat, antara lain kepada nasionalisme, sosialisme, bahkan pada
komunisme.
Dengan latar belakang sejarah yang demikian tadi dapatlah dipahami mengapa
garis merah yang menjelujuri seluruh artikel yang ditulis oleh para pemimpin
pergerakan Indonesia sebelum dan setelah Perang Dunia Kedua adalah kritik dan
protes yang teramat pedas kepada kapitalisme dan politik ekonomi rezim
kolonial Hindia Belanda.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa dalam merumuskan tujuan terbentuknya
negara, dalam menetapkan dasar negara, serta dalam menentukan tugas
pemerintahan negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, masalah
kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu tema sentral. Dalam alinea kedua
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa:Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
Adapun jiwa dari keseluruhan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
terdapat dalam alinea keempat, yang menyatakan:
Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Karena itu upaya memajukan kesejahteraan umum merupakan tugas utama
pemerintahan negara, yang mau tidak mau harus menjadi tolok ukur kinerja
pemerintah, yang dalam sistem pemerintahan presidensial dengan sendirinya
berarti salah satu tolok ukur kinerja seorang presiden. Mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia bahkan merupakan salah satu sila dari
lima sila Pancasila sebagai dasar Negara.
Seharusnya sejak tahun 1961, Republik Indonesia sudah dapat mulai mencurahkan
seluruh potensi dan kekuatannya untuk membangun guna meningkatkan
kesejahteraan rakyat, melaksanakan rencana pembangunan jangka panjangnya,
yaitu sewaktu pemberontakan di daerah yang terakhir telah dapat
ditanggulangi.
Namun, ternyata masih ada berbagai agenda nasional yang dipandang lebih perlu
ditangani terlebih dahulu sebelum pembangunan dapat dimulai, seperti
pembebasan Irian Barat bulan Desember 1961, konfrontasi Malaysia yang baru
terbentuk, menggalang The New Emerging Forces untuk menghadapi The Old
Established Forces, dan me-nasakom-kan ideologi Pancasila. Agenda yang
terakhir ini pula yang membuka peluang untuk aksi ofensif revolusioner Partai
Komunis Indonesia (PKI) terhadap semua golongan yang dinamai komunistofobi
dan anti Nasakom.
Sebagai akibat pengalihan perhatian dan sumber daya nasional untuk hal-hal
yang tidak langsung merupakan kepentingan rakyat ini, makin lama makin terasa
bahwa Republik Indonesia tidak dapat mewujudkan apa yang demikian lama
dicita-citakan rakyatnya. Keadaan tadi diperparah lagi oleh pertambahan
jumlah penduduk yang hampir tidak terkendali, oleh karena pemerintahan pada
saat itu memandang jumlah penduduk yang besar bukanlah merupakan beban,
tetapi justru merupakan kekuatan untuk melakukan revolusi.
Gerakan 30 September/ PKI akhirnya
meruntuhkan pengaruh komunisme dan PKI dalam masyarakat dan dalam jajaran
pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, tanpa direncanakan sama sekali,
Indonesia terseret ke dalam pengaruh Blok Barat, bukan hanya dalam bidang
politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi.
Dengan segala kekurangan dan kelemahannya yang baru dapat diketahui secara
retrospektif dapat dikatakan bahwa secara umum pembangunan nasional pertama
yang cukup berhasil dalam meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia memang
baru dapat dilaksanakan secara teratur antara tahun 1969-1997.
Kemajuan dan masalah yang dialami dalam menyelenggarakan pembanguan nasional
selama ini bukan hanya mempunyai makna ekonomis, tetapi juga mempunyai
relevansi ideologi dan politik, oleh karena pembangunan nasional tersebut
merupakan upaya jangka panjang pertama yang berhasil baik dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan visi dan misinya yang terkandung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara sistematis, terencana,
melembaga, dan berkesinambungan. Sebelum kurun itu, belum pernah sekalipun
Republik Indonesia dapat menyelenggarakan pembangunan nasional secara
demikian terencana.
Pengaruh Ideologi-ideologi Besar dalam Pembangunan.
Secara retrospektif kiranya dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh dari tiga
ideologi besar yang meresapi keseluruhan pembangunan nasional yang
berlangsung antara tahun 1969-1998 tersebut, yaitu : menguatnya pengaruh
liberalisme dan kapitalisme setelah jatuhnya Vietnam Selatan pada tahun 1975;
meluasnya cara berfikir strategi militer yang membagi tugas-tugas besar
nasional berjangka panjang dalam tahapan-tahapan operasi ; dan kuatnya budaya
politik yang sentralistis kedalam tataran pemerintahan.
a. Pengaruh liberalisme dan kapitalisme masuk ke dalam skenario
pembangunan nasional Indonesia melalui berbagai undang-undang tentang modal
asing sejak tahun 1967. Bidang-bidang yang paling intensif terpengaruh oleh
modal asing ini antara lain adalah sektor industri, pertambangan, perkebunan,
keuangan dan perbankan. Investasi dalam bidang pertambangan dan perkebunan
memerlukan penyediaan lahan yang amat luas, yang di beberapa daerah
mengakibatkan penggusuran rakyat setempat dari tanah yang sudah didiaminya
selama berpuluh tahun. Dalam dasawarsa 1990-an, pengaruh liberalisme dan
kapitalisme ini semakin berkembang melalui faham neo-liberalisme, yang
bertujuan untuk mengkomersialkan seluruh barang dan jasa, jika perlu dengan
meniadakan fungsi pemerintah dalam bidang kesejahteraan rakyat. Privatisasi
besar-besaran badan-badan usaha milik Negara termasuk dalam kerangka pengaruh
liberalisme dan kapitalisme ini.
b. Pengaruh Jalan Pikiran Strategis Militer.
Pengaruh jalan pikiran strategis militer dalam pembangunan nasional terlihat
dalam proses penyusunan rencana pembangunan yang dirancang bagaikan
mempersiapkan suatu kampanye militer. Sebagai suatu tugas strategis yang akan
memakan waktu panjang dan memerlukan pengerahan sumber daya nasional yang
besar, rencana pembangunan nasional disusun berdasar suatu Strategi
Akselerasi Modernisasi 25 Tahun yang pelaksanaannya terdiri dalam lima kali
Rencana Pembangunan Lima Tahun, yang setiap tahunnya dijabarkan dalam Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahunan.
c. Pengaruh Budaya Politik yang Sentralistik.
Dalam wacana para Pendiri Negara antara bulan Mei sampai dengan bulan Agustus
1945 telah berkembang dua pemikiran dasar dalam pemerintahan, antara yang
menginginkan adanya pemerintahan yang kuat di bawah seorang presiden yang kuat,
dan yang hendak membatasi kekuasan presiden itu untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan. Suasana zaman saat itu amat kuat kearah
pemerintahan yang kuat, yang akhirnya tercermin dalam kalimat Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945, (yang sekarang telah dihapuskan) yang berbunyi:
concentration of power and responsibility upon the President. Secara
kebetulan, budaya politik tersebut juga diterima oleh sebagian terbesar
rakyat Indonesia.
Babak Tiga Besar Pembangunan
Secara retrospektif terlihat bahwa sebelum mengalami kemerosotan drastis
dalam tahun 1997, ada tiga babak besar dalam pelaksanaan strategi pembangunan
perekonomian Indonesia berjangka panjang ini. Pengalaman dalam tiga babak
besar pembangunan ini perlu dikaji baik-baik, bukan hanya untuk memelihara
dan melanjutkan kebijakan dan praksis pembangunan yang sudah terbukti baik,
tetapi juga untuk menghindarkan dan mencegah kebijakan dan praksis
pembangunan yang terbukti bisa berakibat fatal.
a. Babak pertama, antara tahun 1966-1968; merupakan babak pendahuluan,
untuk meletakkan landasan konseptual serta landasan institusional yang
diperlukan untuk melancarkan pembangunan ekonomi berjangka panjang. Setelah
melakukan serangkaian konsultasi dengan para ahli ekonomi terkemuka
Indonesia, Pemerintah memutuskan untuk menjadikan tema pembangunan nasional
sebagai core value dalam pemerintahannya, untuk menggantikan secara mendasar
tema revolusi yang menjadi tema dasar kegiatan pemerintahan terdahulu.
b. Babak kedua, antara tahun 1969-1997;
merupakan rangkaian pelaksanaan pembangunan lima tahun, yang secara gradual
berhasil meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya rakyat Indonesia
secara menyeluruh. Adalah menarik untuk memperhatikan bahwa perjalanan
panjang pembangunan nasional ini berlangsung selama tiga dasawarsa terakhir
Perang Dingin antara Blok Barat yang menganut faham liberalisme, yang
kehidupan ekonominya didasarkan pada sistem pasar bebas dengan Blok Timur
yang bertumpu pada ideologi Marxisme-Leninisme, yang sistem ekonominya
merupakan sistem ekonomi dengan perencanaan terpusat.
Hampir seluruh Negara di dunia pada saat itu tidak terkecuali Republik
Indonesia memang seakan-akan terbagi dalam dua blok pengaruh ini,
masing-masingnya di bawah kendali dua superpower Amerika Serikat dan Uni Soviet,
yang berusaha keras untuk meletakkan dunia di bawah pengaruh ideloginya
masing-masing. Tidaklah mudah bagi Negara-negara di dunia untuk melepaskan
diri dari pengaruh kedua Negara raksasa tersebut. Antara tahun 1959-1965
kepemimpinan nasional Republik Indonesia cenderung pada Blok Timur, dan
setelah tahun 1966 sebagian merupakan reaksi balik atas kekejaman para pelaku
peristiwa Gerakan 30 September PKI, sehingga lebih cenderung kepada Blok
Barat.
Dalam babak kedua ini terlihat peningkatan kegairahan pembangunan serta
tumbuhnya konsensus nasional yang amat kompak, yang meresapi hampir seluruh
bidang, bukan hanya untuk mewujudkan stabilisasi, tetapi juga rehabilitasi.
Besar kemungkinan bahwa hal itu disebabkan oleh karena tingginya harapan
masyarakat, serta adanya ketersediaan dana dari luar negeri. Hasilnya sungguh
luar biasa. Dengan ukuran apapun, dan oleh pengeritik yang paling tajam
sekalipun, harus diakui bahwa pembangunan nasional dalam kurun 1969-1997 ini
secara substantial berhasil mengurangi kemiskinan yang telah berlangsung
selama berabad-abad, dan mulai meletakkan landasan dari suatu visi masa depan
Indonesia baru, mendekati apa yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Sejak tahun 1967, berbagai upaya telah dilakukan guna mewujudkan
situasi yang stabil dan dinamis. Kondisi demikian merupakan syarat mutlak
untuk melaksanakan pembangunan nasional. Dengan terlaksananya pembangunan,
diharapkan pertumbuhan ekonomi akan meningkat, yang pada gilirannya akan
meningkatkan pula pendapatan nasional. Selain itu, stabilnya perekonomian
nasional akan menstabilkan situasi, moneter, fiskal, serta berbagai kebijakan
ekonomi lainnya, yang penting bagi peningkatan kemakmuran rakyat dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan internasional.
Landasan umum pembangunan ekonomi di Indonesia dinyatakan dalam Trilogi
Pembangunan, yang prioritasnya disesuaikan dengan kondisi perekonomian saat
itu. Trilogi Pembangunan adalah: stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Guna
mencapai sasaran tersebut, pemerintah menyusun rencana pembangunan ekonomi
secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Rencana
tersebut, dituangkan dalam Rangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita), yang terdiri atas Repelita I hingga Repelita V (1969/1974
-1994/1995) atau (Pembangunan Jangka Panjang Tahap I) dan Repelita VI
(1995/1996-1999/2000), yang merupakan tahap untuk memperkuat Landasan
Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Sejak Repelita I hingga VI, pemerintah
telah menyusun arah pembangunan ekonomi dengan jelas. Sasarannya adalah
menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan
berkembang atas kekuatan sendiri, yang pelaksanaannya dititikberatkan pada
bidang ekonomi. Sasaran pembangunan bidang ekonomi adalah terpenuhinya kebutuhan
pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang, yaitu kemampuan
dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan
pertanian yang tangguh.
c. Arah Pembangunan Ekonomi dari Repelita I
hingga VI, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut (Komalasari,
1996):
1) Repelita I (1969/1970-1973/1974), difokuskan pada stabilisasi ekonomi
dengan melakukan pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan
sandang dalam jumlah yang cukup.
2) Repelita II (1974/1975-1978/1979), difokuskan pada peningkatan
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui upaya peningkatan
ketersediaan lapangan kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi menjadi
prioritas utama guna mendorong terciptanya lapangan kerja.
3) Repelita III (1979/1980-1983/1984), fokusnya adalah swa-sembada
pangan, peningkatan ekspor non-migas dan mengupayakan terjadinya pemerataan
hasil-hasil pembangunan. Pada masa itu, dilakukan berbagai upaya untuk
memperlancar proses transisi ekonomi, dari sektor pertanian ke industri.
4) Repelita IV (1984/1985-1988/1989), fokusnya adalah peningkatan
kemampuan ekonomi dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan pada sektor
migas dan mendorong ekspor non-migas. Hal ini merupakan reaksi atas
memburuknya ekonomi dunia dan neraca pembayaran Indonesia pada Pelita III. Di
samping itu, diupayakan juga peningkatan industri manufaktur dengan tetap
memperhatikan peningkatan kesempatan kerja. Periode ini dilakukan perbaikan,
baik sektor riil maupun moneter, melalui berbagai kebijakan seperti melakukan
devaluasi untuk mendorong ekspor, deregulasi perbankan untuk memobilisasi
dana masyarakat melalui tabungan domestik, deregulasi sektor riil untuk
mengurangi hambatan tarif dan memacu investasi.
5) Repelita V (1989/1990-1993/1994), fokusnya tidak terlalu berbeda
dengan Repelita IV, yakni mengupayakan peningkatan kemampuan dalam negeri.
Pemerintah juga mengupayakan peningkatan kesempatan berusaha bagi seluruh
warga Negara dengan menghilangkan berbagai kendala yang menghambat keikutsertaan
masyarakat dalam pembangunan. Deregulasi sektor riil dan sektor moneter terus
dilakukan untuk mendorong tercapainya perekonomian yang lebih efisien.
6) Repelita VI (1994/1995-1998/1999), yang fokusnya adalah:
- Penataan dan pemantapan industri nasional.
- Peningkatan diversifikasi usaha dan hasil pertanian serta peningkatan
ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian yang didukung oleh industri
pertanian.
- Penataan dan pemantapan kelembagaan dan sistem koperasi agar koperasi
semakin efisien serta berperan utama dalam perekonomian rakyat dan berakar di
masyarakat.
- Peningkatan peran pasar dalam negeri serta perluasan pasar luar
negeri.
- Peningkatan pemerataan yang meliputi peningkatan kegiatan ekonomi
rakyat, kesempatan usaha, lapangan kerja, serta peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.
d. Pada PJPT II, yang dimulai dengan Repelita
VII, sasaran pembangunan bidang ekonomi adalah; terciptanya perekonomian yang
mandiri dan andal sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, peningkatan
kemakmuran rakyat yang semakin merata, pertumbuhan yang cukup tinggi, dan
stabilitas nasional yang mantap, bercirikan industri yang kuat dan maju,
pertanian yang tangguh, koperasi yang sehat dan kuat, serta perdagangan yang
maju dengan sistem distribusi yang mantap, didorong oleh kemitraan usaha yang
kukuh antara badan usaha koperasi, Negara, dan swasta serta pendayagunaan
sumber daya alam yang optimal yang kesemuanya didukung oleh sumber daya
manusia yang berkualitas, maju, produktif, dan profesional, iklim usaha yang
sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dan terpeliharanya
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sedangkan arah pembangunan bidang ekonomi pada PJPT II adalah ; terwujudnya
perekonomian nasional yang mandiri dan andal berdasarkan demokrasi ekonomi
untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara selaras, adil, dan
merata. Pertumbuhan ekonomi harus diarahkan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
Diberikan perhatian kepada usaha untuk membina dan melindungi usaha kecil dan
tradisional serta golongan ekonomi lemah, termasuk koperasi. Didukung oleh
peningkatan produktivitas, dan efisiensi serta sumber daya manusia yang
berkualitas. Industri diarahkan menjadi penggerak utama ekonomi yang efisien,
berdaya saing tinggi, mempunyai struktur yang makin kukuh.
Tabel 1.1 memberikan informasi tentang rata-rata pertumbuhan ekonomi dari
Pelita I Pelita V menurut sektor. Dibandingkan dengan sektor lainnya, sektor
industri secara konsisten terlihat mempunyai pertumbuhan ekonomi yang paling
tinggi. Sektor lain yang juga mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
antara lain adalah sektor bangunan serta sektor angkutan dan komunikasi.
Sektor pertanian yang pada Pelita II menempati urutan kedua tertinggi dalam
pertumbuhan ekonomi setelah sektor industri, ternyata pertumbuhannya terus
menurun pada Pelita berikutnya, dan pada Pelita V pertumbuhan sektor
pertanian hanya 3,6 persen, atau nomor dua terkecil setelah sektor
pertambangan.
Turunnya kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia bukan
berarti produksi pertanian mengalami penurunan, tetapi lebih disebabkan
karena sektor-sektor lainnya yang tumbuh lebih cepat. Hal ini bisa
dimengerti, karena sesuai dengan proses pembanguann yang sedang berlangsung,
semakin maju suatu Negara, maka kontribusi sektor pertanian di Negara
tersebut akan terus berkurang sedangkan kontribusi sektor industri akan terus
meningkat menuju kearah industrialisasi.
Disamping sektor industri, sektor lainnya yang juga mempunyai pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi (rata-rata di atas 6 persen pada Pelita V) adalah
sektor bangunan (konstruksi), sektor angkutan dan komunikasi, sektor
perdagangan serta sektor lainnya, yang merupakan gabungan dari sektor
jasa-jasa serta sektor listrik, gas dan air minum.
Tabel 1.1
Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor, Pelita I-V
Sumber : Buku Repelita I-VI.
e. Babak ketiga merupakan titik balik, sewaktu
Negara-negara Asia diguncang oleh krisis ekonomi mulai bulan Juli 1997. Pada
saat Thailand terpaksa mengadakan devaluasi terhadap mata uang baht-nya,
hampir seluruh pejabat pemerintah memberi komentar bahwa fundamental ekonomi
Indonesia kukuh, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ternyata ekonomi
Indonesia tidaklah sekukuh yang diperkirakan dan rakyat banyak sungguh layak
untuk khawatir. Hanya dalam waktu satu tahun antara Juli 1997 sampai dengan
Mei 1998 seluruh struktur ekonomi Indonesia serta wibawa Presiden Soeharto
runtuh bagaikan sebuah rumah kartu. Kurs rupiah yang merosot dari Rp 2.400
per US Dollar menjadi lebih dari Rp 15.000 per US Dollar, menghancurkan
seluruh dunia usaha yang mengandalkan usahanya pada kredit luar negeri.
Pembubaran 16 buah bank swasta, yang dilakukan atas rekomendasi The
International Monetary Fund (IMF) yang saat itu dipimpin oleh Michael
Camdessus, telah menimbulkan kekhawatiran sedemikian rupa di dalam
masyarakat, sehingga Pemerintah mengambil kebijakan darurat berupa Bantuan
Likuiditas Bank Indoensia (BLBI), yang ternyata tidak sepenuhnya digunakan
untuk menyelamatkan bank-bank swasta yang bersangkutan, tetapi juga
dikorupsi, antara lain dengan melarikannya ke luar negeri.
Penutup
Perspektif Masa Depan.
Ditinjau dari perspektif ekonomi, salah satu kritik mendasar yang dapat
ditujukan kepada Pembangunan dimasa lalu adalah pemberian kepercayaan yang
terlalu besar kepada sistem ekonomi pasar. Dalam tahun-tahun pertama
pembangunan nasional keputusan untuk mengundang modal asing, baik untuk
mengeksplorasi maupun untuk mengeksploitasi sumber daya nasional; serta untuk
melakukan pinjaman luar negeri, masih dapat dipahami. Sebabnya ialah oleh
karena tidak tersedianya dana di dalam negeri untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan yang demikian diperlukan, sehingga pemerintah memberanikan diri
untuk mengambil langkah-langkah drastis yang sebelumnya dipandang bagaikan
suatu taboo.
Namun pada akhirnya kebijakan mengundang modal asing dan melakukan
pinjaman luar negeri tersebut telah kabablasan sehingga sistem perekonomian
nasional bagaikan mengabaikan sama sekali semangat pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 yang menegaskan bahwa bumi, dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Sebagai gantinya telah timbul suatu sistem ekonomi yang bersifat neo-liberal,
yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dalam kenyataan, yang
terlihat dan terasa oleh masyarakat banyak, dan menjadi faktor pemicu
demikian banyak protes, demonstrasi dan unjuk rasa, adalah bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya makin lama makin banyak yang
dikuasai oleh perusahaan swasta dan digunakan untuk sebesar-besar keuntungan
mereka sendiri, jika perlu dengan merugikan kepentingan rakyat.
Seluruh rakyat beserta Pemerintah harus menjaga agar bersamaan dengan
mengambil pelajaran dari sisi-sisi baiknya, harus dihindari dan dicegah
berulangnya pengalamaan pahit dalam tahun-tahun terakhir. Rencana Pembangunan
25 Tahun Pertama. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi di masa datang harus secara
konsisten direncanakan, diorganisasikan, serta dikendalikan sesuai dengan
semangat kerakyatan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Adalah jelas bahwa untuk mewujudkan dukungan masyarakat, perlu
ditumbuhkan terlebih dahulu optimisme serta kepercayaan, yang antara lain
banyak tergantung pada tegasnya pemberantasan korupsi, yang merupakan faktor
paling utama dari terwujudnya ekonomi biaya tinggi dan keruntuhan ekonomi
Indonesia.
|
Ashari Cahyo Edi
“…Agar dalam proses membuka ekonomi kita bagi
lalu-lintas dagang dan investasi dunia luar, jangan sampai orang luar itu
menunjukkan tanda dominasi yang menyolok”.
(Mohammad Hatta, Mohammad Hatta Menjawab,
Gunung Agung, Jakarta 1980, halaman 87)
SETIAP HARI panggung bangsa menyuguhi kita beragam
tragedi kehidupan. Suatu antologi kisah yang selalu tidak mengenakkan hati,
mengganggu pikiran. Tak jarang bila kemudian orang bosan terhadapnya. Mulai
dari badai krisis ekonomi, irasionalitas politik para penyelenggara negara,
sampai tragedi kemanusiaan di Aceh, Papua, Bali dan dibelahan lain Nusantara.
Entah, sampai kapan sederetan persoalan mahapelik itu akan berakhir.
Lantas, apa yang telah dilakukan oleh negara ? Lepas tangankah negara ?
Para sarjana asing mengatakan bahwa fenomena keterpurukan indonesia menunjukkan
gejala sindrom gagal negara dimana terjadi kemerosotan luar biasa baik
kapasitas maupun kewibawaan negara (N. Anwar Makarin, Aksara, 2002). Akibatnya,
fungsi negara seperti yang diujarkan Charles E. Miriam (Budiardjo,
1978:46)—seperti keamanan luar negeri, ketertiban dalam negeri, keadlian,
kesejahteraan umum dan kebebasan—tidak dapat dilaksanakan dengan semestinya.
Dalam bidang ekonomi misalnya, sindrom gagal negara
sekarang ini semakin menjadi-jadi.. Perekonomian sangat terpuruk. Belum lagi
lapisan akar rumput sempat menikmati kue pembangunan, krisis kapitalisme di
Asia datang memukul roboh bangunan ekonomi kita yang memang ringkih. Datangnya
lembaga keuangan internasional macam IMF juga sedikit saja membawa progress.
Malah yang terjadi adalah merebaknya PHK, ekskalasi protes sosial dan
sebagainya, akibat treatments yang dalam bahasa Paul Ormerod (1997),
sangat ortodoks.
Kita bisa menyebut semua hal diatas sebagai narasi ironi. Segala hal
yang menegasikan konsepsi para founding fathers republik tentang
indonesia yang ideal. Suatu keadaan dimana penyelenggaraan kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan dilaksanakan secara demokratis dan merdeka
sepenuhnya. Bahwa produktifitas dan kemakmuran ekonomi dicapai dalam suasana
yang adil, demokratis, tanpa penghisapan manusia terhadap manusia lain (Mohtar
Mas’oed, 1994:25). Persolannya, mengapa realitas kontemporer menunjukkan
kecenderungan paradoksal dari yang pernah dikonsepsikan para pendahulu bangsa?
Tak dapat dipungkiri, sistem ekonomi kita secara faktual bukan ekonomi
Pancasila. Bukan berlandaskan kekeluargaan, bukan pula kegotong royongan.
Melainkan sistem kapitalisme. Filsafat kehidupan berbangsa pun semakin sekuler.
Uang, keuntungan, itulah yang selalu menjadi orientasi dan preferensi utama.
Sehingga, tanpa sadar kita telah menunjukkan karakter tipikal
kapitalisme. Yakni, memandang manusia sebagai homo economicus
(filsafat matrealisme) semata dan menafikan kodrat homo methafisicus dan
homo myticus (dimensi kerohanian dan religiusitas), seperti yang diujarkan
oleh Sarino Mangunproto (Mubyarto & Boediono, 1981:18)
Tulisan ini akan berusaha mengetahui alur-alur dari keruwetan benang
merah penjungkir balikkan idealisme ekonomi pancasila menjadi ekonomi libidinal
kapitalisme. Bagaimana koperasi, saka guru ekonomi nasional harus terdepak demi
kepentingan investasi industrialisasi dalam rangka memenuhi ambisi kemajuan
yang berwujud pertumbuhan ekonomi? Akhirnya, sejauh mana prospek ekonomi
pancasila prospek ekonomi pancasila ditengah gelombang besar globalisasi ?
Mampukah ideologi bangsa tetap menjadi basis filsafat penyelenggaraan kehidupan
ekonomi nasional. Atau, akankah ekonomi pancasila justru menemui kulminasi
alienasinya. Kalaulah tidak dikatakan diambang keamatian.
Sintesis Barat dan Timur
Sebenarnya, sejak sebelum merdeka para pendiri negara telah merumuskan
cara untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur serta
demokratis. Bung Hatta bisa disebut sebagai tokoh utama untuk hal ini.
Beliaulah yang mencetuskan bagaimana sistem ekonomi yang seharusnya dianut oleh
indonesia.
Pengalaman studi di negeri belanda memberinya kesempatan mempelajari
lebih dalam dua polar paradigma ekonomi dunia. Yakni kapitalisme di sisi kanan
dan sosialisme di sisi kiri. Pergulatan intelektual Hatta menghasilkan
pemikiran yang lebih condong ke sosialisme. Hatta tertarik dengan keberhasilan
Eropa saat itu yang banyak mendirikan koperasi dalam rangka mengurangi efek
negatif dari kapitalisme. Dengan prinsip self help, koperasi merupakan
wujud konkret dari usaha yang disusun berdasarkan azas kekeluargaan. Semua
bekerja dan punya tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan
kelangsungan hidup koperasi. Keuntungan tak lagi menjadi tujuan yang pertama,
melainkan kemakmuran bersama. Begitulah ciri koperasi dalam bahasa yang
sederhana.
Karakter self help dan azas kekeluargaan tersebut ternyata juga
ditemukan dalam masyarkat kita. Budaya gotong royong, kerukunan, bantu membantu
secara resiprokal dirasakan kuat dalam kehidupan pedesaan. Mudahnya, kita bisa
menyebut hal itu sebagai komunalisme. Yakni, suatu gaya hidup yang
mengandung unsur demokrasi kekeluargaan dan egalitarianisme atau kesamarataan
(Soediono M.P Tjondronegoro, Prisma 1980:21). Dari sinilah Hatta berkesimpulan
bahwa bangunan ekonomi bangsa harus berpijak pada koperasi sebagai unit
kekuatan ekonomi yang memberdayakan rakyat. Karena mayoritas rakyat adalah
masyarakat desa, maka pembangunan harus teraksentuasi pada lapisan masyarakat
bawah tersebut. Demikian pula ekonomi nasional mesti menempatkan koperasi dan
prinsip kerja koperasi di urutan yang pertama.
Korporasi memukul Koperasi
Era 1970-an di negara dunia ketiga, umum berkembang model pembangunan
Neo-Klasik. Dalam pemikiran itu, pembangunan diwarnai oleh konsep modernisasi,
pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, liberalisasi perdagangan dan revolusi
hijau serta pengendalian jumlah penduduk. Tujuan utamanya adalah meningkatkan GNP
seraya melakukan koreksi pemerataan dengan program kebijakan kesejahteraan
rakyat yang populis (M. Dawam Raharjo, Prisma 1980:43).
Sepertinya, nasib baik berpihak pada indonesia saat itu. Ekonomi indonesia
mengalami pertumbuhan yang bombastis. Bahkan banyak kalangan yang berpendapat,
“never has the republic such a good in time economies”. Hanya
dengan sedikit kerja—regulasi yang lunak dan penyiapan iklim sosial-politik
yang kondusif—para pejabat orde baru mempersembahkan performance ekonomi
yang kemilau kepada rakyat indonesia. Kemajuan yang sejatinya semu. Sebab, Capital
flow hanyalah dept flow. Hasil kemajuan itu pun sangat terpusat pada
segelintir masyarakat. Dan, rakyat yang miskin tak kunjung menerima rembesan
kemakmuran, seperti yang sudah dijanjikan oleh kapitalisme.
Sritua Arief dan Adi Sasono (1981) dengan sangat kritis mengidentifikasi telah
terjadi praktik yang tidak fair dalam proses pembangunan yang dilakukan
orde baru. Suatu kolaborasi yang menempatkan pengusaha pribumi sebagai kelas
komprador dan pejabat negara yang tak lebih dari penjual rente. Semangat
kekeluargaan ala koperasi mengalami distrosi menjadi perkoncoan. Mekanisme ini
telah menghasilakan oligarkhi ekonomi yang biasa kita sebut sebagai
konglomerasi. Merekalah yang dipercaya ekonom negara sebagai national
economy backbones. Ironisnya, fakta berbicara lain. Konglomerat adalah bayi
tua. Hanya ketergantungan dan keterbelakangan yang dapat mereka perbuat. “Ersazt
Capitalism!”, seru Yoshihara Kunio (1990).
Apa yang terjadi dengan Ekonomi Pancasila? Bagaimana kabar Koperasi?
Pemerintah memang membentuk banyak BUMN sebagai manifestasi penguasaan negara
terhadap cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak (welfare
state). Pemerintah juga membentuk Bulog yang akan menampung hasil panen
petani bila terjadi surplus produksi sehingga petani tidak merugi. Tetapi,
dalam prakteknya BUMN menjadi sarang korupsi. Betapapun buruknya manajemen
internal, toh para direkturnya tetap hidup makmur. Belakangan baru kita
ketahui kebobrokannya ketika harus diawasi oleh BPPN. Alih-alih melindungi
hajat hidup orang banyak, BUMN justru sering menyerobot tanah rakyat, membuat
mega proyek tapi nir korelasi dengan ekonomi kerakyatan.
Demikian halnya dengan koperasi. Program untuk pembinaan koperasi
sebenarnya tidak pula sedikit. Bahkan hampir di setiap desa terdapat koperasi
atau yang lazim kita sebut Koperasi Unit Desa (KUD). Seluruh elemen masyarakat
tak luput dalam mobilisasi negara untuk membentuk koperasi. Ada koperasi
pegawai negeri, koperasi veteran, sampai koperasi tukang becak. Namun kuatnya
kepercayaan terhadap developmentalisme dalam diri policy makers, tak
pelak menempatkan koperasi diurutan ke-sekian dalam prioritas. Pendek kata,
negara mewajibkan rakyatnya menanggung hidupnya sendiri. Mengorganisir diri
untuk bertahan menghadapi dampak pembangunan yang sarat disparitas dan
ketidakadilan. Sehingga dapay disimpulkan, koperasi telah menjadi buffer
industrialisasi.
Marjinalisasi ekonomi Pancasila dapat pula dilihat dari ilustrasi
berikut. Pembentukan Bulog harus dipahami tidak semata-mata demi kepentingan
petani. Ketika harga gabah naik, dan saat itulah petani manikmati keuntungan,
BULOG justru hadir dengan operasi pasar. Tujuannya agar buruh dikota tetap
dapat hidup meski dengan upah yang minimum. Buruh tidak berontak dan
industrialisasi tetap berjalan. Upah buruh yang murah jelas akan menekan biaya
produksi tetap rendah. Harga yang murah merupakan salah satu daya tarik produk
indonesia dalam perdagangan internasional. Sedang bagi investor, iklim seperti
ini sangatlah diminati.
Makin menjadi jelas, pembangunan ekonomi kita menganut mainstream
kapitalisme. Liberalisasi menggiring gaya hidup yang mensyaratkan kompetisi.
Kekeluargaan dan kegotong royongan dianggap tidak lagi relevan. Dengan
demikian, upaya meminggirkan ekonomi pancasila sebenarnya sudah terjadi ketika
orde baru memilih jalan ‘kanan’ dalam pembangunan ekonominya. Orde baru mungkin
mengalami contradictio interminus. Itu kalau kita berasumsi positif
bahwa negara masih punya will untuk membangun ekonomi kerakyatan.
Namun pendapat lain mengatakan bahwa keinginan isapan jempol belaka.
Rencana-rencana pembangunan dengan prioritas tinggi untuk pertanian (atau
sektor kerakyatan—penulis), kata Michael Lipton, mengingatkan kita akan mahshab
egalitarian semu dimana kelompok A yang menjadi prioritas tetapi kelompok B
yang mendapat makanan. Kiranya, perpaduan dua pendapat tersebut yang penulis
anut. Bahwa masih tersisa aktor yang tidak menjadi bagian kebusukan
sistemik dan sistematis. Meskipun yang idealis tersebut harus kalah dari kaum
yang pragmatis.
Dalam Pusaran Globalisasi
Di bangku sekolah dulu, kita selalu dibekali pesan bahwa akan datang
suatu masa yang bernama globalisasi. Masa dimana kita akan makmur. Bahwa bangsa
kita saat itu telah siap hidup dalam suasana kompetisi pasar. Hal itu sering
sekali kita dengar ketika persiden Soeharto berulang kali menyatakan, “kita
akan tinggal landas”. Dan sekarang ini, sepertinya kita juga akan tinggal
landas, namun tanpa kesiapan. Secara fondasional konstruksi ekonomi kita rapuh
dan keropos.
Globalisasi secara sederhana adalah pengintegrasian sistem ekonomi
nasional suatu bangsa kedalam sistem ekonomi dunia. Menurut dalih kaum Neo
Liberal, globalisasi akan mendatangkan kemakmuran global. Perdagangan bebas
yang diatur oleh ‘tangan-tangan tak tampak’ akan membagi secara adil kemakmuran
dunia. Aturan dasar kaum liberal seperti yang dicatat Mansour Fakih
(2001:218-219) adalah jauhkan negara dari pasar, hentikan subsidi terhadap
rakyat, dan lenyapkan ideologi welfare state. Tiga kredo ini dapat
kita temui dalam resep IMF terhadap pemulihan ekonomi kita. Yakni, pengetatan
APBN termasuk didalamnya dengan memotong subsidi, peningkatan suku bunga,
liberalisasi perdagangan dan pasar kapital, privatisasi dan pencegahan pailit
(Mohtar Mas’oed, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fisipol-UGM, 2002:23-26). Terapi
ala IMF itu jelas teraksentuir pada modal dan bukan sebaliknya, berdimensi
kerakyatan.
Makin lama gelombang besar globalisasi kita rasakan makin kuat. Kalau
dulu ekonomi Pancasila di hempaskan oleh pembangunanisme, maka sekarang pusaran
globalisasi telah siap membenamkannya. Tidak saja dalam bentuk fisik. Misalnya,
pengurangan subsidi kepada rakyat. Namun secara ideologi Pancasila mau tidak
mau dharus beradu kuat dengan kapitalisme.
Globalisasi menurut Anthony Giddens (1999) telah melahirkan ruang
sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antar bangsa dan interkoneksi
yang melampaui demarkasi geografis dan kedaulatam negara (Agus Subagyo, Kompas
28/12/2001). Ini berarti globalisasi akan menciptakan identitas baru,
mempertanyakan nasionalisme suatu bangsa, yang intinya menyebabkan
tercerabutnya suatu bangsa dari akar budayanya sendiri. Sekarang ini, di
kota-kota kecil dengan mudah dapat kita jumpai adanya internet. Sebentar lagi
desa juga akan menikmati informasi tanpa batas itu. Dengan lain kata, erosi
semangat kekeluargaan rentan terjadi. Disatu sisi pemerintah telah banyak
mengadopsi kebijakan yang pro pasar, dan disisi lain apa yang disebut
komunalisme dihadapkan dengan tantangan mahaberat, yakni monukultural
Di tempo mendatang Bumi Indonesia akan di jejali oleh Multinational
Corpotation dan Trans National Corporation. Demokrasi ekonomi yang
menjadi ciri Ekonomi Pancasila sulit untuk terwujud. Ada beberapa prinsip
ekonomi pancasila yang berada dalam posisi diametral dengan semangat pasar
bebas globalisasi. Yakni, penguasaan negara terhadap resouces yang
strategis bagi ekonomi nasional, peran sentral koperasi dalam kegiatan ekonomi,
serta pengandaian bahwa pelaku ekonomi memiliki moral suasion, appeal
terhadap social and religious conscience, dan patriotisme (Boediono
dalam Mubyarto & Boediono, 1981:11).
Adakah Harapan
Di awal tuliasan ini ditampilkan kutipan panjang wasiat sang Proklamator.
Wasiat yang seharusnya dihayati dan dilaksanakan oleh para penyelenggara
negara. Dan wasiat itu ternyata dilanggar. Masuknya modal asing justru menjadi
penjajah baru. Alienasi masyarakat bawah menjadi tak terelakkan.
Kemakmuran, keadilan, kekeluargaan, kegotong royongan dan sederetan visi-misi
bernegara wasiat founding fathers hanya terucap dalam kata.
Menyesaki konstitusi, peraturan, sampai proposal fiktif. Sedang
perekonomian kita sekarang ini sudah sedemikian terpuruk.
Adalah mustahil untuk memberikan solusi final terhadap segala kebobrokan
tersebut. Namun harapan tetap ada. Reformasi yang kita jalani sebenarnya
potensial merancang episode baru sejarah masa depan. Seperti kata Bung Hatta,
“membangun koperasi itu butuh keuletan”. Demikian pula dengan megembalikan
Pancasila sebagai falsafah penyelenggaraan kehidupan.
Dengan integritas kenegarawanan penyelenggara negara, Pancasila dapat mengalami
revitalisasi secara politik, sosial, ekonomi maupun budaya. Tentunya, tidak
dengan jalan yang represif seperti era Soeharto. Dalam bidang ekonomi
pembentukan koperasi bisa menjadi basis menghalau dampak negatif globalisasi.
Kalau dulu ada koperasi yang survive kendati dianak tirikan negara,
bukan mustahil sekarang pun dapat terulang kembali.
Politik ekonomi negara harus membuat strategi yang populis namun
diterima oleh pasar. Sebab, dalam perdagangan bebas pun, negara kapitalis macam
Inggris tetap mengintervensi pasar ketika ada kasus yang membahayakan kehidupan
warga negaranya. Misalnya, soal perdagangan sapi yang terkena wabah antraks.
Contoh ini menunjukkan bahwa Pancasila tidak akan mati hanya karena
globalisasi. Yang perlu dilakukan adalah ijtihad nasional dalam rangka
melakukan refleksi dan observasi kritis terhadap pancasila. Peyesuaian
terhadap perkembangan dengan tidak keluar dari nilai-nilai dasar Pancasila
menjadi syarat mutlak dalam ijtihad tersebut. Namun persoalannya, bagaimana
menggugah nurani pejabat-pejabat negara agar mempunyai will untuk hal
ini. Karena kebijakan seperti ini akan tidak menguntungkan secara ekonomi bagi
mereka. Nah, disinilah momen ransisi penting. Terutama untuk suksesi
elit sekaligus struktural. Tentunya, hal ini membutuhkan perjuangan yang berat,
tulus dan tanpa kepentingan pribadi maupun kelompok.
Dari segi pendidikan, kita tak boleh lupa untuk berinvestasi Sumber Daya
Manusia. Selama ini ilmu ekonomi yang diajarkan di universitas adalah ilmu
ekonomi kapitalisme. Ketidaktahuan mahasiswa terhadap ekonomi Pancasila
menyebabkannya berpaling ke sosialisme yang tak kalah matrealisnya dengan
kapitalisme. Dengan pemahaman dan pengahayatan yang memadai, bukan utopia
Pancasila menjadi jalan kedua, menggeser sosialisme.
Stigma konyol yang ada bahwa Pancasila adalah milik orde baru.
Monopoli interpretasi terhadap pancasila telah menimbulkan miskonsepsi di
kalangan masyarakat luas. Sebagai ideologi bangsa, sungguh riskan bila tidak
dilakukan sosialisasi secara benar. Upaya pelurusan terhadap Pancasila baik
sejarahnya maupun isinya dengan sendirinya menjadi hal yang krusial. Agar
keyakinan masyarakat kembali dan generasi baru nantinya juga akan menghayatinya
secara penuh. Pada generasi-generasi baru inilah, paradigma ekonomi Pancasila
akan terus hidup. Tak lekang oleh zaman.
*Artikel ini memenangkan sayembara lomba penulisan
tentang Quo Vadiz Ekonomi Pancasila”
Pusat Studi Ekonomi Pancasila 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar